Krisis di pasar finansial global akhirnya pun berimbas ke Indonesia. Dana-dana asing keluar dan menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot tajam. BEI bahkan harus melakukan suspensi perdagangan pada 9 dan 10 Oktober 2008, untuk memberikan jeda kepada investor agar bisa berpikir rasional di tengah gejolak pasar keuangan..

    IHSG terpangkas hingga setengahnya pada awal November. Jika pada 1 November 2007 IHSG berada di level 2.688,33, maka setahun berikutnya, IHSG terpangkas hingga setengahnya. Pada 1 November 2008, IHSG tercatat ada di level 1.241,54. Menutup tahun 2008, IHSG berada di level 1.355 poin atau turun 50,64% dibandingkan tahun sebelumnya.

    Di pasar obligasi, pasar obligasi negara juga mengalami tekanan. Senada dengan pasar saham, kinerja pasar obligasi sebenarnya sempat membaik pada semester I. Namun, pada semester II pasar obligasi mulai melemah dan mencapai puncaknya pada Oktober 2008, saat harga rata-rata obligasi negara terkoreksi hingga 27,4%. Harga surat utang Indonesia juga anjlok tajam, dengan imbal hasil atau yield melonjak tajam dari sekitar 10% menjadi 17%, menurut data Bank Indonesia.

    Sektor perbankan lagi-lagi menjadi titik paling rawan saat krisis menerjang. Krisis finansial membuat krisis likuiditas.

  
    Menghadapi situasi tersebut, pada Oktober 2008, pemerintah mengeluarkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Pertama, Perppu 2/2008 untuk memperkuat fungsi lender of the last resort BI dengan memperluas macam aset yang bisa dijadikan agunan oleh bank untuk mendapatkan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dari BI. Kedua, Perppu 3/2008 untuk memperkuat peran LPS di masa krisis. Ketiga, Perppu 4/2008 mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) menetapkan mekanisme, tata cara, dan koordinasi antar lembaga yang bertugas dan berwenang mencegah dan menangani krisis.

    Bapepam-LK (kini melebur ke OJK) juga mengeluarkan aturan untuk mempermudah emiten melakukan buyback. Sementara BEI mengeluarkan larangan transaksi shortselling dan membatasi perdagangan marjin. Ini dimaksudkan untuk mengurangi aksi jual di tengah momentum penurunan harga. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk meredam volatilitas di pasar saham.

    Pada medio Oktober 2008, BI menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 9% menjadi 7% untuk kewajiban rupiah, kewajiban valas dari 3% turun menjadi 1%. Perhitungan GWM untuk bank-bank kecil disederhanakan. Dengan demikian, beban perbankan sedikit berkurang.

    Untuk mengatasi ketatnya likuiditas, pembatasan saldo harian pinjaman valas jangka pendek oleh bank-bank dihapuskan dan tenor fasilitas swap untuk memperoleh likuiditas diperpanjang dari 7 hari menjadi 1 bulan.

    Memasuki semester II tahun 2009, tanda-tanda pemulihan ekonomi sudah mulai nampak. Pada tahun 2010, ekonomi sudah pulih yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang positif di angka 5%.